Tugas Final : Sejarah Lisan
Nama : La Farli
STB : A1A211054
Prodi : Pendidikan Sejarah
SEJARAH
LISAN
A.
Pengertian Sejarah Lisan.
Sejarah
Lisan merupakan usaha untuk merekam seluruh kenangan dari si pelaku sejarah,
agar semua aktifitas yang dilakukannya, yang dilihatnya dan dirasakannya dapat
terungkap melalui proses wawancara dengan segala nuansa yang muncul dari aspek
peristiwa sejarah. Wawancara sejarah lisan agak berbeda dengan wawancara
jurnalistik, sebab ada persiapan metodologis yang secara kritis dilakukan,
pemilihan topik-topik tertentu, kajian pustaka dan dokumen-dokumen yang terkait
serta pedoman wawancara. Termasuk juga seleksi yang ketat terhadap orang yang
akan diwawancarai (pengkisah) dan terhadap apa-apa yang diceritakannya. Karena
itu ruang lingkup mereka harus lebih luas dari pada yang dibutuhkan untuk
pemakaian langsung atau khusus. Sejarah lisan merupakan salah satu dari
sumber-sumber sejarah, karena ada sumber tertulis dan ada sumber lisan. Sejarah
lisan berbeda dengan tradisi lisan.
Sejarah lisan adalah satu kaedah di mana
kenang-kenangan seseorang tokoh yang dirakamkan secara wawancara. Tokoh-tokoh
yang dipilih biasanya terdiri daripada mereka yang dapat menyumbang maklumat
bersejarah dari penglibatan dan pengalaman diri mereka sendiri, atau oleh
kerana perhubungan mereka secara langsung dengan watak, masa atau peristiwa
tertentu. Maklumat yang diperolehi dari wawancara tersebut kemudiannya disalin
dan salinan itu selepas disemak dan ditaip dapat digunakan sebagai bahan
pengajaran dan penyelidikan.
Sejarah
lisan sebagai sumber sejarah yang dilisankan, penulisan berdasarkan cerita yang
diungkapkan oleh pengkisah yang mengalami, menjadi saksi, mengikuti berbagai
peristiwa sejarah pada jamannya dan hanya satu generasi saja. Jadi lebih banyak
pengalaman tokoh yang bersangkutan dalam peristiwa sejarah. Tradisi lisan ruang
lingkupnya lebih luas daripada sejarah lisan. Dalam hal ini tradisi lisan
merupakan pengalaman-pengalaman kolektif suatu masyarakat/ bangsa yang menunjuk
pada kejadian-kejadian/ peristiwa-peristiwa dimasa itu, sehingga dipengaruhi
oleh jiwa jaman. Tradisi lisan lebih mengarah pada hal-hal yang statis dan
bersifat mitos dan lebih banyak pada hal-hal yang bersifat budaya. Tradisi
lisan merupakan suatu cerita rakyat yang diungkapkan secara lisan dan
berlangsung secara turun temurun, ada pewarisan dari satu generasi ke generasi
lainnya. Pengkisah tidak terikat dengan peristiwa itu sendiri dan bukan pelaku
atau penyaksi dari peristiwa yang di ceritakan. Sebagai ilustrasi mungkin kita
dapat lihat dari cerita tentang Djoko Tingkir atau Pangeran Samber Nyawa di
daerah Jawa.
Makmal/Arkib
Sejarah Lisan di Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi ini diasaskan
oleh Prof. Madya Dr. Nadzan Haron. Kini Pusat Kajian Sejarah Lisan ini di bawah
Penyelaras yang baru iaitu Encik Mohd Samsudin dan dikendalikan oleh seorang
Pembantu Makmal. Kursus ini diambil oleh pelajar tahun akhir yang mana pelajar
akan membuat kertas projek berdasarkan Sejarah Lisan.
Pada
kebiasaannya para pelajar yang mengambil kursus ini akan dibawa ke sesuatu
tempat untuk menemuramah interviewee yang berkaitan. Contoh: Sekumpulan pelajar
telah dibawa ke Temerloh, Pahang. Tujuannya ialah para pelajar akan menemuramah
sekumpulan bekas komunis (iaitu Nasionalis Melayu Kiri dan Rejimen Ke-10 Parti
Komunis Malaya) yang terdapat di sana seperti Abdul Manan Chik, Ahmad Muhd.
Salleh, Kamaruzaman Teh, Hj. Ibrahim Mat Dayah dan lain-lain.
Di
antara tajuk-tajuk yang pernah dibuat kajian oleh para pelajar adalah seperti
berikut:
a)
|
Projek
Askar Melayu
|
b)
|
Projek
Dr. Mohd. Said dan Kepimpinan UMNO Negeri Sembilan
|
c)
|
Projek
Pengumpulan Tradisi Lisan Negeri Sembilan
|
d)
|
Projek
Peristiwa Memali
|
e)
|
Projek
Masyarakat Siam di Perlis, Kedah dan Kelantan
|
f)
|
Projek
Nasionalis Melayu Kiri dan Rejimen Ke-10 Parti Komunis Malaya (PKM)
|
g)
|
Projek
Peristiwa Zaman Jepun dan BMA
|
h)
|
Projek
Peristiwa Zaman Darurat
|
i)
|
Projek
Gua Musang
|
j)
|
Projek
Biografi
|
k)
|
Projek
atas tajuk pilihan pelajar sendiri
|
Selain daripada menyimpan kertas perojek di atas,
Makmal/Arkib Sejarah Lisan juga menyimpan tape-tape hasil rakaman para pelajar.
Di Makmal/Arkib Sejarah Lisan juga terdapat alat pandang dengar iaitu untuk
kegunaan para pelajar dan kakitangan akademik. Tujuannya ialah untuk memudahkan
lagi penyelidikan, kajian, dan sebagai bahan pengajaran.
Selain itu, Makmal/Arkib Sejarah Lisan juga digunakan
sebagai bilik tayangan video, yang mana kakitangan akademik bersama para
pelajar akan menonton filem-filem yang berkaitan dengan kursus yang diambil.
Selain daripada itu Makmal/Arkib Sejarah Lisan juga terbuka kepada semua
pelajar dan kakitangan akademik di Universiti Kebangsaan Malaysia untuk membuat
rujukan. Terdapat juga pihak-pihak luar seperti badan-badan kerajaan dan swasta
yang membuat rujukan di makmal ini.
B.
Posisi Sejarah Lisan Dalam
Metodologi Sejarah.
Dalam
kajian sejarah, sejarah lisan sebenarnya merupakan salah satu teknik atau
metode pengumpulan data sejarah, namun bersumber pada informasi lisan, bukan
sumber tertulis. Pendekatan/ teknik pengumplan data sejarah dengan lisan
tergolong baru untuk kajian-kajian sejarah modern, namun sesungguhnya
historiografi tradisional bersumber dari tradisi lisan. Pada dasarnya teknik/
metode sejarah lisan tidak berbeda dengan teknik/ metode sejarah yang menggali
sumber-sumber sejarah tertulis dengan kritik intern dan ekstern. Rekonstrusi
sejarah diperoleh melalui proses penyusunan kembali fakta-fakta sejarah sebagai
aktualitas yang sebenarnya menjadi sejarah yang ditulis atau disusun secara
tertulis, yang selama ini kita kenal dengan Historiogarafi.
Jika
teknik konvesional mengungkapkan aktualitas sejarah melalui sumber-sumber tertulis
maka dalam sejarah lisan aktualitas sejarah diperoleh dari sumber lisan dengan
membangkitkan kembali ingatan pelaku-pelaku sejarah. Proses penggarapan sejarah
lisan seperti yang berlaku dalam penggarapan sejarah untuk kajian sejarah
modern, yakni menggunakan kerangka teoritis metodologis dan metode sejarah
kritis dengan dua tahap :
a.
Tahap analisis evidensi, mencari
bukti-bukti dari sumber lisan untuik menyusun fakta-fakta.
b.
Tahap sintesis fakta dalam
rekonstruksi sejarah dalam bentuk penulisan sejarah tertulis.
C. Fungsi Sejarah Lisan Dalam
Metodologi Sejarah.
Teknik/
metode sejarah lisan merupakan suatu pengembangan dan penyempurnaan dari
penelitian sumber-sumber sejarah tertulis, seperti dokumen dan catatan-catatan
resmi peristiwa sejarah yang dapat melengkapi penulisan sejarah dengan
nuansa-nuansa peristiwa sejarah yang tidak bisa secara lengkap ditampilkan oleh
data tertulis. Sejarah lisan lisan disatu sisi sebagai metode (proses) namun
disisi yang lain juga sebagai produk (hasil) yang berupa data tertulis, karena
telah ditranskripkan atau penulisan-penulisan sejarah yan bersifat monolog
seperti biografi.
Sejarah
lisan diperlukan bukan hanya untuk masyarakat yang tidak mempunyai kebiasaan
merekam sumber tertulis, namun juga sangat dibutuhkan bagi penyusunan sejarah
kontemporer seperti yang sudah dikatakan diatas terutama sesudah Perang Dunia
II dan masa revolusi. Khususnya bagi rekonstruksi sejarah Indonesia
kontemporer, penggunaan teknik sejarah lisan sangat penting. Sebab para pelaku
sejarah tersebut masih hidup, sehingga dapat melengkapi khasanah sumber-sumber
sejarah bagi penulisan sejarah. Disamping itu sejarah lisan juga dapat
digunakan untuk berbagai jenis penulisan sejarah seperti sejarah politik,
sejarah ekonomi, sejarah kebudayaan, sejarah sosial termasuk penulisan sejarah
lokal dan sejarah nasional.
Secara
metodologi ada keterbatasan dari metode sejarah lisan yaitu tidak dapat
menggali sumber sejarah dalam rentang waktu yang lama. Oleh sebab itu yang
paling tepat penggunaan sejarah lisan pada rentangan waktu yang dekat dengan
kita, karena pelaku sejarahnya masih hidup, dan sejarah lisan hanya mampu
mengungkapkan pengalaman-pengalaman seseorang yang sifatnya sangat individual.
Disamping keterbatasan itu, sejarah lisan mempunyai kelebihan yang tidak dapat
diperoleh dari dokumen tertulis. Sejarah lisan dapat menangkap tema-tema
tertentu yang muncul dari sejarah yang tidak dapat diungkapkan oleh
dokumen-dokumen tertulis.
Sejarah lisan lebih bersifat populis, sehingga
dapat mencapai kehidupan sosiokultural pada masyarakat kelas bawah. Dalam
kondisi masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa dengan budaya tertulis,
sementara itu sumber tertulis juga masih langka, maka penggunaan sejarah lisan
bagi rekonstruksi sejarah sosial menjadi sangat penting. Apalagi dengan makin
berkurangnya para pelaku sejarah sebab umur manusia terbatas dan belum
lengkapnya rekonstruksi sejarah Indonesia secara nasional ataupun lokal.
Pengalaman sejarah masyarakat di masa kolonial, Jepang dan Revolusi serta Pasca
Revolusi merupakan sumber sejarah yang harus digali. Pengalaman sejarah
tersebut hampir sebagian besar berada dalam ingatan para pelaku dan penyaksi
peristiwa sejarah. Untuk itu perlu digali, dipahami dan disusun kembali melalui
penulisan sejarah dengan menggunakan metode sejarah lisan.
D. Perangkat Teknis Dalam Penelitian Sejarah Lisan.
Dalam
mengungkapkan sumber sejarah lisan tetap digunakan prosedur dan kerangka
teoritis/ metodologis dari penelitian sejarah dengan proses evidensi dan
sintesis termasuk kritik sumber. Dengan demikian terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam proses penelitian denan menggunakan metode sejarah
lisan.
Pertama : Terhadap sumber sejarah lisan (pengkisah) diperlukan
seleksi kritis agar memperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Untuk itu perlu diteliti lebih dahulu kondisi pribadi dan
mentalitas sumber, mungkin lemah ingatan atau pribadi pembual, sekaligus
memperhatikan usia pengkisah yang disesuaikan dengan kurun waktu dari ocus yang
dipermasalahkan.
Kedua : Persiapan peneliti terhadap ocus yang akan diteliti,
dengan mengadakan kajian pustaka yang lengkap dan komprehensif, membuat
kerangka permasalahan yang akan dikerjakan. Setelah itu buat pedoman wawancara
yang disesuaikan dengan masalah yang akan diteliti.
Ketiga : Teknis peralatan wawancara meliputi perankat yang
dibutuhkan untuk wawancara sejarah lisan antara lain ; tape recorder, kaset,
peralatan tulis, buku catatan dan juga peralatan lainnya seperti kamera, film,
baterai dan lain-lain.
Keempat : Persiapan lapangan perlu diperhatikan dengan seksama,
karena harus disiapkan observasi awal untuk mengetahui kondisi lokasi agar
sesuai dengan ocus wawancara. Kemudian menghubungi sumber (pengkisah) untuk
menentukan waktu wawancara dan tempat wawancara, termasuk juga persiapan izin
dari yang berwenang jika diperlukan.
Hal-hal
lain yang diperlukan antara lain ocus wawancara, pengetahuan bahan-bahan
tertulis dan penggunaan bahasa, sikap pewawancara dan suasana lingkungan yang
penuh keakraban, simpati serta penuh perhatian terhadap apa saja yang
diceritakan. Dalam proses sejarah lisan lebih banyak memberikan kesempatan
kepada pengkisah untuk berbicara dan jangan sekali-sekali memotong pembicaraan.
E. Tradisi Tulisan dan Tradisi Lisan
1.
Tradisi Tulisan
Awal perkembangan penulisan sejarah di
Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa
sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo dan lain-lain.
Bentuk penulisan sejarah pada naskah tersebut, termasuk dalam kategori
historiografi tradisional, sebutan ini untuk membedakan dengan historiografi
tradsional. Historiogarfi modern sudah lebih dulu berkembang di barat. Ciri
Historiografi modern yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah
penggunaan fakta. Fakta menjadi kenyataan sejarah.
Perkembangan historiografi seiring
dengan perkembangan alam pikiran manusia. Historiogarfai di Indonesia seiring
pula dengan perkembangan sejarah Indonesia. Salah satu perkembangan penting
dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi
yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Sebuah
tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah dan diketuai Dr. FW. Stapel.
Judul buku sejarah yang ditulis tersebut adalah Geschiedenis van
Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Penulisan Stapel dianggap
Neerlandosentris. Dalam perkembangan kemudian banyak mendapat kritikan. Sejak
awal kemerdekaan semanagat penulisan sejarah Indonesiasentris telah muncul.
Salah satu cara yang dilakukan oleh para penulis sejarah Indonesia, khususnya
penulis buku-buku pelajaran sejarah, mengubah judul buku sejarahnya menjadi
“Sejarah Indonesia”. Penulisan buku sejarah ini khususnya diperuntukan
kepentingan sekolah.
Pada masa pendudukan Jepang, pelajaran
sejarah mendapatkan pengawasan yang ketat dari badan propaganda dan kebudayaan
bentukan pemerintah Militer Jepang. Pemerintahan Jepang salah satu upaya
menhilangkan pengaruh barat (Belanda) terhadap kaum pribumi melaui jalur
pendidikan, sehingga istilah “Sejarah Tanah Hindia” diubah menjadi “Sejarah
Indonesia”. Berakhirnaya pendudukan Jepang, muncul buku pegangan yang dipakai
di sekolah. Buku tersebut ada yang resmi ditulis oleh guru sendiri yang berupa
diktat maupun diterbitkan menjadi buku.
Dan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penulisan
sejarah Indonesia sebagai upaya dekolonisasai yaiu :
1.
Sejarah Indonesia yang wajar adalah
sejarah yang mengungkapakan “Sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia
sendiri memegang peranan pokok.
2.
Proses perkembangan bangsa masyarakat
Indonesia hanya dapat diterangakan sejelas-jelasnya dengan menguraikan faktor
atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi, sosial, politik ataupun
kultural.
3.
Pengungkapan aktivitas dari berbagai
golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan, atau kstaria, tetapi juga dari
kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya.
4.
Untuk menyusun sejarah Indonesia
sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses yang menunjukan perkembangan
kearah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini maka prinsip
intregasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam
masa-masa tertentu telah tercapai.
Adanaya filsafat sejarah nasional agar
penulisan sejarah Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam pikiran untuk
menyusun sejarah Indonesia kembali. Pada tahun 1963 dibentuk panitia untuk
melaksanakan penulisan kembali sejarah Indonesia, namun karena pada tahun-tahun
berikutnya di negara kita terjadi ketegangan sosial dan krisis politik, menyebabkan
panitia tidak dapat menghasilkan sesuatu. Titik terang dalam perkembangan
penulisan buku sejarah nasional kembali muncul dengan diselenggarakannya
Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta tahun 1970. Upaya perbaikan
terhadap penulisan sejarah Indonesia terus dilakukan. Penulisan sejarah tidak
hanya dengan pendekatan struktural , namun juga muncul pendekatan strukturis.
Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu
diselenggarakannya Seminar Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.
Agenda Seminar itu meliputi filsafat
sejarah nasional, periodesasi Sejarah Indonesia, dan pendididkan sejarah. Dari
sinilah mulai nasionalisasi atau untuk menggunakan istilah saat ini
“pribumisasi” historiografi Indonesia. Sebagai usaha tambahan terhadap
penulisan sejarah, dapat disebutkn usaha-usaha penerbitan arsip yang dikerjakan
oleh Arsip Nasional. Tulisan ini akan meliputi juga kegiatan
penerbitan-penerbitan yang tidak secara khusus mengklaim sebaga penerbit
sejarah, tetapi yang dalam kenyataannya menyumbang besar terhadap pemahaman
sejarah, seperti penerbitan buku-buku “kenangan” ulang tahun tokoh-tokoh
sejarah. Dalam penulisan sejarah kontemporer, misalnya, penulis-penulis
skripsi tidak saja ingat persoalan politik, tetapi sudah menjangkau masalah-masalah
sosial, agama, budaya dengan pendekatan-pendekatan baru berdasar pengetahuan
mereka mengenai ilmu-ilmu sosial.
2.
Tradisi Lisan
Sejarah lisan tampak sebagai sebuah
metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasai keterbatasan dokumen
tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan menurut
perimbangan antar berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari
prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi anatar
manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam
sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang
hidup.
Sejarawan besar profesional abad ke-19
asal pranci, Jules Michelet. Profesor Ecole Normale, Sorbone dan College de
Farnce, serta kurator kepala pada Arsip Nasional, menulis karyannya History
of the French Revolutions (1847-53), ia beranggapan bahwa dokumen tertulis
harusnya menjadi salah satu sumber saja. Dalam jangka sepuluh tahun dia
mengumpulkan bukti-bukti lisan secara sistematis di luar Paris. Niatnya
menyeimbangkan bukti berupa dokumen-dokumen resmi dengan penilaian politis yang
di dapat dari tradisi lisan populer.
Ketika mengatakan sejarah lisan, yang
dia maksud adalah tradisi nasional, yang umumnya tersebar dalam mulut semua
orang, yang dikatakan dan diulangi setiap orang, petani, orang udik, orang tua,
perempuan, bahkan kanak-kanak; yang dapat kau dengar ketika memasuki kedai
minum desa di malam hari; yang dapat kau kumpulkan dan temukan pada pejalan
kaki yang tengah berhenti, kau mulai bercakap-cakap dengannya tentang hujan,
musim, kemudian tentang persediaan makanan, zaman-zaman para kaisar,
zaman-zaman revolusi.
Peristiwa-peristiwa pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, tidak
meninggalkan bukti-bukti tertulis. Jika menjelaskan suatu asal-usul tempat,
maka yang dijadikan bukti hanya bukti benda atau artefak dari benda itu
sendiri. Penjelasan asal-usul tempat itu lebih banyak berupa cerita lisan.
Cerita tersebut akan terus menerus diceritakan dari mulut ke mulut, dari
generasi ke generasi sehingga menjadi sutu tradisi atau menjadi tradisi lisan.
Tardisi lisan merupakan cara yang dilakukan oleh masyarakat yang belum mengenal
tulisan dalam merekam dan mewariskan pengalaman masa lalu dari masyarakatanya.
Tradisi lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik” usaha untuk merekam, menyusun
dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Masyarakat pendukung tradisi lisan lebih mementingkan retorika
ceritanya daripada kebenaran faktanya. Pewarisan ini dilakuakan agar masyarakat
yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai
cerita masa lalunya. Tardisi lisan dalam bentuk pesan-pesan verbal yang berupa
pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat
musik. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi
penafsiran, sedangkan di dalam sejarah lisan, tidak ada upaya untuk pewarisan .
Tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga
tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan
dari satu generasi ke generasi lain. Tradisi lisan terbatas dalam kebudayaan
lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Tradisi lisan mengandung
nilai-niali moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayal, peribahasa,
nyanyian, mantra. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi
penelitian sudah dipergunakan sejak awaltimbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu
sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru.
Tradisi lisan muncul berkaitan dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman
kelompok dimasa lampau melalui cerita yang diturunkan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi. Menurut Vansia unsur penting dalam tradisi lisan adalah
pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat dimasa
lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Yang perlu
diperhatikan dalam hubungan tardisi lisan ini adalah:
1.
menyangkut pesan-pesan yang berupa
pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat
musik atau alat bunyi-bunyian.
2.
Tradisi lisan berasal dari generasi
sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya.
Menurut Vansia, tradisi lisan bisa dibedakan menjadi
beberpa jenis :
1.
Petuah-petuah yang sebenarnya merupakan
rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasannya
disitat secara berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang
diharapakan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat
biasannya diusahakan tidak diubah-ubah meskipun dalam kenyataan perubahan bisa
terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat
lisan, jadi sukar dicek dari rumusan aslinya. Namun karena kedudukannya
istimewa dalam kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah.
2.
Kisah tentang kejadian-kejadian
disekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perseorangan atau kelompok.
Kisah yang sebenarnya berintikan fakta tertentu, fakta inti dengan cepat
biasannya diselimuti unsur kepercayaan atau pencampuradukan anatar fakta dengan
kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta memang seperti penyampaian gosip (penuh
dengan tambahan menurut selera penuturnya. Vanisa memberi istilah “historical
gossip” (gosip yang berniali sejarah).
3.
Cerita kepahlawanan yang berisi
bermacam gambaran tentang tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok
pemiliknya yang biasannya berpusat pada tokoh-tokoh tetentu dari kelompok itu.
4.
Cerita Dongeng yang umumnya bersifat
fiksi belaka. Biasanya berfungsi umtuk menyenangkan bagi yang mendengarkannya.
Tradisi lisan sering dihubungkan dengan folklor, karena
foklor menyangkut tradisi dalam kelompok masyarakat atau komunitas tetentu,
Pewarisan melaui cara lisan atau tutur kata. Tardisi lisan hanyalah bagian dari
foklor. Tardisi lisan mempunyai keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas
lebih besar dibandingkan unsur tertulis. Yang menjadi masalah dalam tradisi
lisan adalah penerapan konsep kausalitas dalam uraian ceritannya. Tradisi lisan
memuat informasi luas tentang kehidupan suatu komunitas dengan berbagai
aspeknya.
Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat
kebiasaan yang secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup
hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda. Tradisi lisan
diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan hanya
beraksara.” Menurut Suripan Sadi Hitomo (1991:11), tradisi lisan itu mencakup
beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusutraan lisan, (2) yang berupa
teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi
dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang
berupa kesenian folk di luar puast-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6)
yang berupa hukum adat. Kemudian pudentia (1999:32-35) memberikan pemohonan
tentang hakikat orality sebegai berikut.
Tradisi lisan
(oral tradition) mancakup segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa,
sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang
disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita
rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda, seperti
yang umumya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif
kebudayaan, seperti sejarah hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala
wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan
dan yang berraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan
beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya di miliki oleh orang lisan saja.
Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan tertulis berbeda dengan lisan
beraksara. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud kebebasan bersuara;
sedangkan lisan kedua (orality) dalam maksud beraksara kebolehan bertutur
secara beraksara.
Kelisanan dalam masyarakat berakasara sering diartikan
sebagai hasil dari masyarakat yang terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan;
sesuatu yang dianggap belum sempurna atau matang, dan sering dinilai dengan
kriteria keberaksaraan. Bila diberikan deskripsi tentang kelisanan dengan
memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia keberaksaraan, masih ada
hal-hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum terungkap ada pula hal-hal
yang diungkapkan, tetapi tidak diwujudkan. Hal ini tidaklah berarti bahwa
kelisanan sama sekali terlepas dari dunia keberaksaraan atau sebaiknya, dunia
keberaksaraan tidak berkaitan dengan dunia kelisanan. Hubungan di antara
tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia melayu didasari oleh
anggapan bahwa dengan mengetahui interaksi keduanya, bru dapat memahami
masing-masing tradisi tersebut. Pada beberapa tempat hubungan atau penulisan
tradisi lisan ke dalam naskah tertulis, sebagaimana telah dijelaskan pada
hakikat keselisihan di atas, tertentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda
dalam perjalanannya, naskah-naskah yang berawal dari riwayat lisan menimbulkan
banyak versi. Hal ini dipengaruhi oleh selera penulis atau penyaliannya.
SUMBER
Barzum, Jacques and Henry F Graff. The Modern Researcher. New York: Harcourt Brace
Jovanovich Inc, 1977. Baum, Willa K. Sejarah Lisan Untuk
Masyarakat Sejarahwan
Setempat. Jakarta: Arsip Nasional RI, 1982. Kuntowijoyo.
Metodologi Sejarah. Yogya: Tiara Wacana, 2003 Huen, P. Liem Pui (ed). Sejarah
Lisan di Asia Tenggara. Teori dan Metode.
Jakarta: LP3ES, 2000. Thompson, Paul. The Voice of the Past:
Oral History. New York:
Oxford University Press, 1978.
Komentar